Pelabuhan Sunda Kelapa memiliki letak geografis yang strategis, sehingga membuat para pedagang dari berbagai wilayah Nusantara maupun mancanegara tertarik merapat ke sana. Kala itu, aneka macam barang seperti porselen, kopi, kain sutera, wewangian, kuda, anggur dan zat pewarna dibawa untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi kekayaan negeri berjuluk Zamrud Khatulistiwa.
Kepala Tata Usaha Kantor Kesyahbandaraan dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Sunda Kelapa, Muhammad Ridwan menungkapkan, hal itu tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini.
"Pelabuhan fungsinya sekarang masih sama dulu kan dari zaman Belanda mereka ke sini untuk barter barang komoditi dari luar untuk rempah-rempah dari Jawa nge-based-nya di Sunda Kelapa," tutur Ridwan saat berbincang dengan Okezone belum lama ini.
Yang menarik, tampak sejumlah Kapal Phinisi atau kapal layar khas Bugis, Sulawesi Selatan itu berjejer di dermaga pelabuhan. Para pekerja terlihat sibuk mengangkut barang-barang kelontongan berupa gula, semen, beras, makanan dan masih banyak lainnya untuk dibawa ke penjuru Nusantara, daerah terpencil di Indonesia.
"Jadi untuk jenis barangnya banyak kelontongan bahan material dikirim ke Pulau Kalimantan, Bangka, Sumatera ada juga ke Kepulauan Riau," ujarnya.
Di Pelabuhan Sunda Kelapa lanjut Ridwan, para pemilik barang maupun kapal masih menggunakan cara manual dengan memanfaatkan tenaga manusia untuk memindahkan barang-barang dari tronton ke atas kapal. Hanya ada satu mesin pengangkut yaitu dompeng, selebihnya penataan barang di atas kapal mengunakan tenaga manusia.
Tak hanya itu, pelabuhan yang sempat beberapa kali berganti nama itu juga kerap menjadi destinasi wisata baik wisatawan lokal maupun luar negeri. Pelabuhan yang memiliki nilai sejarah tinggi ditambah pesona Kapal Phinisi yang memiliki keindahan khas sambung Ridwan, menjadi magnet tersendiri bagi para pengunjung.
"Yang paling menarik pengunjung Kapal Phinisi itu mereka foto kan banyak juga kenapa orang bule ke sini mungkin dulu mereka penasaran melihat jajahan kakek mereka, jadi datang ke sini ke Sunda Kelapa," ucap Ridwan.
Meski demikian sudah banyak kapal-kapal besi dan kapal tanker yang lebih modern. Ridwan pun berujar, untuk meningkatkan pariwisata di kawasan itu, pihaknya juga telah mengajukan kepada pemerintah untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai pelabuhan heritage (warisan) agar menarik wisatawan.
Selain itu lanjutnya, masih banyak peninggalan VOC Belanda seperti Menara Syahbandar yang didirikan pada 1839, Museum Bahari, bengkel kapal VOC atau VOC Shipyard, dan kawasan Batavia yang memiliki banyak bangunan bersejarah.
"Kita lagi mengajukan rencana induk pelabuhan menjadi heritage jadi pelabuhan bersejarah udah kita ajukan dari 2014 kita masih proses nunggu rekomendasi jadi tidak menghilangkan nilai sejarahnya," tuturnya.
Hal senada dilontarkan sejarawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Johan Wahyudi. Menurutnya, dari dulu hingga sekarang fungsi pelabuhan tidak pernah berubah, yakni sama-sama menjadi roda penggerak ekonomi.
"Tapi manajemennya berubah seperti yang Anda lihat sekarang kenapa pelabuhan Sunda Kelapa agak menjorok ke dalam, itu hasil tata kelola Belanda. Bahkan di masa VOC, Pulau Seribu itu jadi tempat galangan kapal untuk membetulkan kapal para saudagar. Terutama kapal yang memerlukan pembetulan kapal di pulau bahkan mereka menyewa tenaga asing menyewa untuk menginap di pulau itu," kata Johan terpisah.
Untuk itu, dia berharap agar pemerintah melakukan restrukturisasi pelabuhan tersebut guna mendapatkan devisa dari luar negeri, mengingat nilai historisnya yang tinggi sehingga sangat memungkinkan pengunjung dari berbagai belahan dunia untuk datang.
"Karena Sunda Kelapa dulu belum ada bangunan permanen hanya pasar bangunan kayu. Sekarang kan yang paling kokoh bangunan Belanda. Saya berharap bangunan yang ada itu direnovasi dan Pelabuhan Sunda Kelapa jadi wisata dalam skala luas. Ini penting untuk membangun ingatan kolektif," tuturnya.
"Bagaimanapun, Batavia itu ibu kota VOC di Asia, mencakup kantor dagang di Jepang. Hong Kong itu pusatnya di Batavia bukan hanya Nusantara. Yang terbesar di Asia itu ya Batavia itu. Nah, ingatan ini kan hilang karena pembawa kebijakan kita enggak menganggap ini penting," kata Johan menandaskan.
sumber : okezone.com
No comments:
Post a Comment